“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai
mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan
seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan
kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk
mereka.” (HR. Muslim).
Kegemilangan
zaman yang pernah dikecap umat Islam di masa khulafaur rasyidin; Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali kembali tercipta di zaman khalifah bani
Umayyah; Umar bin Abdul Azis.
Walaupun
mereka berada di rentang waktu yang berbeda. Padahal ia memerintah
cukup singkat, kurang dari tiga tahun. Dari tahun 99 H hingga 102 H.
Namun kemilau prestasinya akan terus dikenang oleh umat Islam sepanjang
masa. Wajar, jika para ahli sejarah menyebut Umar bin Abdul Azis sebagai
khalifah ar rasyid yang kelima.
Rakyat
hidup damai sejahtera. Kezaliman menyingkir dan kemiskinan sirna tak
berbekas. Tiada seorangpun dari rakyatnya yang mau menerima harta zakat
dan sedekah, karena mereka merasa mampu dan tak layak mendapat jatah
zakat dan sedekah. Baitul mal pun sesak dengan banda zakat, sedekah dan
yang lainnya.
Kesejahteraan
bukan hanya dirasakan oleh manusia, tetapi dikecap pula oleh binatang
dan hewan yang hidupnya di lereng-lereng bukit dan lembah.
Serigala
yang biasanya memangsa kambing dan domba, pada saat itu bisa membaur
dan hidup berdampingan dengan akur dan rukun bersama kawanan domba dan
kambing. Subhanallah.
Malik
bin Dinar berkisah. Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai
Khalifah, para penggembala kambing di puncak gunung berkata, “Siapakah
khalifah shalih yang sedang memerintah manusia saat ini?.”
Malik bin Dinar berkata, “Mengapa kalian bertanya demikian?.”
Para
penggembala itu menjelaskan, “Bila pemerintahan dipegang oleh seorang
khalifah yang shalih, maka serigala dan singa tidak mengganggu
kambing-kambing kami.”
Namun
kala pemimpin yang shalih tiada, keadaan pun berubah, Musa bin Ayyan
mengisahkan, ‘Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, demi Allah,
kami menggembalakan kambing bersama serigala di suatu tempat. Hingga
suatu malam serigala menyerang kambing kami. Dengan adanya peristiwa ini
kami mengira bahwa lelaki shalih yang menjadi khalifah telah wafat.
Ternyata keesokan harinya memang benar, kami mendengar kabar bahwa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah wafat.” (hilyatul auliya’, Abu Nu’aim
al Ashbahani).
Kedamaian
dan keindahan hidup di bawah naungan pemimpin yang shalih dan adil
bukan hanya dirasakan oleh manusia dan hewan melata. Bahkan
tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan pun turut merasakannya.
Imam
Ahmad dalam kitab al musnad menyebutkan bahwa pada era Umar bin Abdul
Aziz, sebutir biji gandum besarnya seukuran bawang putih.
Subhanallah, lalu sebesar apa buah terong pada masa itu? Allahu akbar!.
Saudaraku,
Kesejahteraan,
keadilan, keamanan dan kedamaian itulah yang barangkali menjadi barang
langka di negeri kita saat ini. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,
baru menjadi senandung lagu yang selalu kita dengar setiap kali gema MTQ
digulirkan, baik di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi maupun
Nasional.
Praktek
korupsi merajalela di mana-mana. Terutama di lingkaran kekuasaan dan
parlemen serta tempat-tempat basah seperti pajak dan seterusnya.
Makan
malam bersama keluarga di Sumur Bandung pun terasa kurang nyaman dan
terganggu, karena banyaknya para pengamen yang memetik senar gitar
dengan suara yang terkesan dipaksakan.
Aparat
yang menggusur paksa pedagang kaki lima. Penjualan bayi yang terus
marak. Pelacuran yang meramaikan kehidupan malam. Wajah-wajah polos
anak-anak di bawah umur yang hidup di bawah garis kemiskinan terpaksa
harus putus sekolah. Anak-anak kurang gizi yang menjamur. Tangisan
rakyat yang dibalut penderitaan dan dicekik hutang. Kriminalitas terus
membayangi warga. Dan seterusnya, yang merupakan pemandangan nyata yang
terus kita saksikan di sekitar kita.
Hewan
dan binatang pun gerah lantaran kezaliman semakin tumbuh subur di
negeri ini. Yang mana hal ini membuat masyarakat resah. Munculnya
binatang aneh yang meresahkan, seperti serangga Tomcat yang sempat
membuat panik warga yang disapanya. Yang terkena serangga tersebut akan
menderita penyakit gatalnya.
Bencana
yang seolah-olah ia menjadi cerita bersambung yang tak pernah ada kata
akhir. Bumi tak rela dijadikan tempat maksiat dan dosa yang terus
menjamur.
Kita
sangat merindukan pemimpin yang memiliki kepribadian seperti Umar bin
Abdul azis. Kita mendamba munculnya ratu adil, yang dapat mengalirkan
kesejahteraan, kedamaian, keamanan dan keadilan bagi rakyatnya. Yang
akan dicintai rakyat dan do’a-do’a tulus terlantunkan dari lisan mereka.
Hal
ini senada dengan sabda Nabi saw, “Sebaik-baik penguasa adalah yang
kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Kalian do’akan
kebaikan atas mereka dan mereka pula mendo’akan kebaikan untuk kalian.
Seburuk-buruknya penguasa adalah orang-orang yang kalian benci dan
mereka juga membenci kalian. Laknat, kalian berikan kepada mereka dan
mereka pun melaknati kalian.” HR. Muslim.
Saudaraku,
Ada
pertanyaan yang menggelayut di benak kita perihal khalifah Umar bin
Abdul Azis ini. Dengan capaian yang teramat gemilang dan raihan prestasi
yang menakjubkan selama menjadi khalifah, apakah hal itu terjadi secara
kebetulan, spontan bim salabim, alami atau ada usaha manusiawi yang
terprogram dan terarah? Atau mengalir begitu saja sesuai dengan aliran
mata air takdir yang Maha Kuasa?.
Jawabannya
tentu, selain dari bagian sekenario Allah swt, ada usaha manusiawi yang
terarah, ada sebuah proses yang terprogram dan ada cita-cita yang
tertata rapi dari sang khalifah.
Salah satunya, seperti yang disebutkan oleh Hasan Zakaria Falyafil dalam bukunya ‘tharaif wa mawaqif min at tarikh al Islami’.
Ia
menulis, setelah didaulat menjadi khalifah bani Umayyah, Umar bin Abdul
Azis mengirim sepucuk surat kepada Salim bin Abdullah bin Umar di
Madinah, yang inti suratnya adalah,
“Kirimkanlah
untukku buku-buku yang mengulas perihal Umar bin Khattab,
keputusan-keputusan yang pernah diambilnya selama menjadi khalifah dan
berisi lembaran-lembaran sirahnya. Karena sesungguhnya aku ingin
mengikuti jejaknya dan menapaki jalan yang pernah dilaluinya.”
Setelah membaca surat dari sang khalifah, Salim mengirim surat balasan,
“Engkau
sekarang hidup di zaman yang berbeda, bukan hidup di masa Umar, dan
tidak didampingi oleh para pejabat yang dulu pernah membantu Umar (dalam
mengurus rakyatnya).
Tapi
ketahuilah jika engkau berniat sungguh-sungguh mengukir kebaikan dan
memiliki tekad yang bulat untuk itu, maka Allah swt akan membantumu. Dan
Dia akan mengaruniakan kepadamu para pejabat yang akan membantumu
(dengan tulus). Karena sesungguhnya pertolongan Allah diberikan kepada
hamba-Nya sepadan dengan niat tulus yang tertancap di dalam hatinya.”
Saudaraku,
Ternyata itulah kunci kesuksesan Umar bin Abdul Azis dalam mengemban amanah sebagai khalifah.
Ada
niat tulus, untuk mengikuti jejak para pendahulunya; khulafaur
rasyidin. Selalu meminta nasihat, saran dan teguran dari para ulama
Rabbani dan zuhud yang hidup di masanya. Menyingkirkan para pejabat yang
bermental mendua, suka berbasa basi dan cari perhatian.
Mungkinkah di zaman ini lahir penguasa atau pemimpin yang berkepribadian seperti Umar bin Abdul Azis?
Walaupun
sulit terwujud, tapi tidak mustahil akan muncul di negeri kita. Bahkan
di daerah kita. Selama ia mau mengikuti jejak sang khalifah yang zuhud
ini. Selama ia memandang bahwa jabatan yang disandangnya adalah amanah
dari Allah swt, bukan alat untuk memperkaya diri dan keluarganya.
Bertekad bulat mensejahterakan rakyatnya. Dan selama ia tidak menjadikan
kekuasaan sebagai kendaraan untuk berlaku sewenang-wenang dan lupa
daratan.
Semua
berawal dari niat tulus dan kebulatan tekad. Dimulai dari merubah ‘mau’
menjadi ‘kemauan’. Selama ada terselip tujuan, menggapai ridha Allah
swt dan meraih cinta dan do’a kebaikan dari rakyatnya. Selama ia yakin
dengan pertolongan-Nya.
Ataukah, kita layak menjadi pemimpin dambaan itu?
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh Ust. Abu Ja’far Fir’adi, Lc
manhajuna.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !